12 Jul 2013

jack the ripper





PUKUL 01.30 Whitechapel berselubung gelap. Di sudut jalan yang remang, seorang perempuan bercumbu dengan pria bersetelan gelap. Sekitar 20 menit kemudian, perempuan itu ditemukan telah menjadi mayat.

Itulah kali terakhir Catherine Eddowes terlihat di sudut jalan itu, di St James’s Passage di kawasan Whitechapel, 30 September 1888. Catherine adalah korban keempat Jack The Ripper, pembunuh berantai yang gemar memutilasi korbannya. Identitasnya tak pernah terungkap hingga kini. Jack The Ripper menjadi legenda sadisme dari London, kota abu-abu yang memancing rasa murung.

Dua abad setelah pembunuhan berantai itu, legenda Jack The Ripper yang mendunia masih membius dan menjadi obyek wisata. Inilah salah satu contoh kreatif pengelolaan turisme dengan bermodal narasi, tak semata keindahan kota ataupun alamnya. Kendati hal itu berupa narasi keji dan pilu.

Gelap mulai membayang ketika tiba di Tower Hill sekitar pukul 19.30. Udara dingin merayapi tubuh. Musim semi baru beranjak pada awal April. Berbekal buku kecil panduan ”tur swalayan” Jack The Ripper seharga 3 pounds (Rp 41.250), penyusuran jejak Sang Pembunuh dimulai. Wisata swalayan yang cukup murah di kota mahal seperti London.

Berdasarkan buku panduan, titik pertama yang harus disinggahi adalah St James’s Passage yang bermuara di Mitre Square, tempat mayat Catherine Eddowes tadi ditemukan. Lokasinya sekitar 20 menit berjalan kaki dari Tower Hill. Panduan dalam buku mungil itu cukup deskriptif, dilengkapi peta, cuplikan cerita seperti kesaksian orang yang melihat Catherine terakhir kali, hingga arahan kanan dan kiri. Seluruhnya cukup ditempuh berjalan kaki.

Buku panduan membawa saya ke lima lokasi pembunuhan para korban The Ripper di kawasan Whitechapel. Kawasan ini tak menjanjikan keindahan, hanya berbagai bangunan kelam, apartemen, perkantoran, masjid (The East London Mosque), toko, dan juga bar. Beberapa bar lawas bahkan terkait dengan Jack The Ripper. Sekali pun kuno, atmosfer bar-bar ini amat nyaman, tak terasa angker.

Bar kuno itu, misalnya, Still and Star Pub yang berdiri sejak tahun 1880, Hoop and Grapes Pub (tahun 1600), The White Hart Pub (1721), dan The Ten Bells (1753). Bar yang terakhir diduga merupakan lokasi favorit The Ripper untuk minum-minum. Annie Chapman yang mayatnya ditemukan di Hanbury Street masih sempat bekerja di The Ten Bells pada malam dia tewas di ujung belati The Ripper.

Lima korban

Para ripperologist meyakini korban The Ripper adalah lima perempuan pekerja seks. Pembunuhan oleh The Ripper itu adalah bagian dari peristiwa Whitechapel Murders, yaitu pembunuhan 11 perempuan, yang tak pernah terungkap. Kelima korban The Ripper itu adalah Mary Ann Nichols, Annie Chapman, Elizabeth Stride, Mary Jane Kelly, dan Catherine Eddowes. Mereka dibunuh pada Agustus-November 1888.

Kawasan Whitechapel di Timur London memang merupakan kawasan merah, yang pada tahun 1888 menjadi lahan nafkah bagi sekitar 1.200 pekerja seks. Ketika itu, kemiskinan yang parah di London menjadikan wajah Whitechapel begitu muram. Pelacuran dan kriminalitas amat marak di sini. Whitechapel juga melatari beberapa cerita besutan pengarang asal Inggris Charles Dickens, misalnya dalam karyanya yang muram, Oliver Twist (1838).

Soal siapa sebenarnya Jack The Ripper, banyak teori yang beredar. Sebagian meyakini The Ripper adalah seorang dokter bedah. Sebab, caranya memutilasi korban begitu rapi mencerminkan keterampilan. Ada juga yang meyakini The Ripper adalah seorang tukang daging.

Seiring malam yang kian larut, beberapa lorong jalan yang harus saya lintasi menuju lokasi pembunuhan The Ripper sepi senyap. Hanya sesekali saja manusia melintas. Tiba-tiba tercium wangi parfum semerbak ketika saya berpapasan dengan perempuan menor berparas hispanik di ujung Fashion Street. Mungkin dia hendak ke kelab. Tak lama, sontak terdengar suara jeritan melengking memecah kesunyian ”Aaarrrgghh…!”

Sial, rupanya sekelompok laki-laki setengah mabuk tiba-tiba muncul dan menjerit, iseng menakut-nakuti belasan turis yang juga tengah menyusuri jejak The Ripper.

Perut mulai keroncongan. Saya akhirnya menyempatkan mampir di Brick Lane, yang dapat dicapai melalui Fashion Street. Jalan Brick Lane yang sempit itu dipenuhi restoran masakan Asia dan Timur Tengah. Kawasan ini menjadi kantong imigran keturunan Banglades sehingga kerap disebut Banglatown. Kali ini, suasananya lumayan ramai meski bukan malam minggu. Wajah-wajah khas Asia Selatan tampak di sana-sini.

Seusai menyantap sepiring nasi dengan kari sayur seharga 4 pounds (Rp 55.000), penyusuran dilanjutkan ke lokasi yang terakhir, yakni Durward Street, tempat Mary Ann Nichols, dibunuh. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Lorong maut itu sunyi senyap! Setiap kali menemui lokasi pembunuhan sesuai petunjuk buku seperti ada suara yang bergumam di benak, ”Oh.., dia dibunuh di sini”.

Seusai memotret, kaki pun bergegas menuju Whitechapel High Street, mengejar bus untuk pulang ke Hendon, di utara London. Masih satu jam perjalanan. Selesai sudah ketegangan malam ini. Fiuhh....

No comments: